Rabu, 12 Februari 2014
ABSTRAK
Butarbutar, Pesta Karolina.
2013. “Peningkatan
Kemampuan Menulis Puisi Menggunakan Metode Mind Map (Peta Konsep) dan
Pemanfaatan Lingkungan pada Siswa Kelas
VIIIA SMP YPPK Santo Paulus Abepura Tahun Ajaran 2012/2013”. Skripsi, Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Cenderawasih. Pembimbing I Dr. Aleda Mawene, M.Pd.
Pembimbing II Dra. Tri Handayani, M.Hum.
Menulis merupakan suatu keterampilan
berbahasa yang diguanakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak
secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu keterampilan yang
produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis penulis haruslah terampil
memanfaatkan struktur bahasa dan kosa kata. Keterampilan menulis tidak datang
secara otomatis melainkan harus melalui latihan dan praktek yang banyak dan
teratur. Pada kenyataanya, banyak siswa yang beranggapan bahwa pembelajaran
menulis khususnya menulis puisi sangat membosankan, terutama ketika harus
menggunakan pilihan kata, unsur persajakan, rima, dsb. Hal seperti ini
menyebabkan kemampuan menulis puisi siswa tersebut menjadi rendah. Kesulitan
menulis puisi juga dialami siswa kelas VIIIA SMP YPPK Santo Paulus. Dari 34
siswa yang mampu mencapai nilai KKM hanya 7 orang.
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti berupaya meningkatkan kemampuan
menulis puisi siswa kelas VIIIA SMP YPPK Santo Paulus Abepura dengan
menggunakan metode mind map dan pemanfaatan lingkungan. Metode mind map
merupakan suatu metode pembelajaran yag dirancang untuk membantu siswa dalam
proses belajar, yang dituangkan dalam bentuk peta pikiran mengenai suatu topik
atau tema tertentu. Pemanfaatan lingkungan adalah penggunaan lingkungan alam
sekitar sebagai sumber belajar, sehingga siswa tidak hanya mendapatkan materi
pelajaran dari buku saja tetapi menggabungkan keduanya. Dengan demikian
diharapkan pembelajaran menulis puis dengan memanfaatkan lingkungan dan metode
mind map, mampu meningkatkan kemampuan menulis puisi siswa.
Tahapan-tahapan yang akan ditempuh dalam penelitian tindakan kelas ini
meliputi perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Penyusunan RPP
disesuaikan dengan Standar Kompetensi (SK) yaitu “mengungkapkan pikiran dan
perasaan dalam puisi bebas” dan Kompetensi Dasar (KD) “menulis puisi bebas
dengan memperhatikan unsur persajakan.”
Setelah dilaksanakannya penelitian melaui prasiklus, siklus I dan siklus
II, hasil penelitian menunjukkan bahwa metode mind map dan pemanfaatan
llingkungan dapat meningkatkan kemampua menulis puisi siswa kelas VIIIA SMP
YPPK Santo Paulus Abepura tahun ajaran 2012/2013. Pada prasiklus nilai
rata-rata keseluruhan siswa mencapai 67,8, sedangkan pada siklus I mencapai
rata-rata 71,8. Selanjutnya pada pelaksanaan siklus II mencapai rata-rata 81,2.
dari pelaksanaan prasiklus hingga siklus II telah mengalami peningkatan sebesar
13,4. Peningkatan yang dilakukan pada penelitian ini juga mempengaruhi tingkah
laku siswa kelas VIIIA SMP YPPK Santo Paulus Abepura menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Hal ini terlihat dari keaktifan serata semangat para siswa dalam
mengikuti pembelajaran menulis puisi.
Kata Kunci :
Kemampuan Menulis Puisi, Metode Mind Map dan Pemanfaatan Lingkungan.
Senin, 31 Januari 2011
(POTENSI JATUH) BANGUNNYA KATA GANTI REFLEKSIF
Keenan (2003) membandingkan sejarah kata ganti refleksif (reflective pronouns) dengan sejarah Menara Eifel. Menara ini khusus dibangun sebagai tempat pameran internasional menjelang akhir abad kesembilan belas, dan bangunan itu rencananya dihancurkan begitu pameran usai. Namun demikian, kebetulan sekali bahwa pada jaman itu radio menjadi sangat populer pada, dan Menara Eifel ternyata bisa dipergunakan sebagai tempat untuk memasang antena radio. Fungsinya dalam penyiaran radio, yakni fungsi yang sama sekali baru dan tak ada kaitan dengan tujuan dibangunnya menara, itulah yang (sebagian) bertanggungjawab atas kelangsungan hidup bangunan itu sendiri. Cerita mengenai kata ganti refleksif merupakan cerita tentang suatu pengkonstruksian yang memang khusus dikembangkan untuk melakukan enkoding terhadap acuan empatik, yang sekarang memerankan fungsi yang sangat berbeda. Kami membahas sejarah ini terlebih dahulu agar bisa memberikan contoh masalah teoretis yang dikemukakan dalam bab 4 dan 5.[1] Sejalan dengan yang dikemukakan pada bab 4, proses konvensionalisasi dikatakan bersifat paksaan, meskipun konvensi-konvensi mutakhit sama sekali bukan bersifat paksaan. Terkait dengan bab 5, kami melihat bagaimana perubahan linguistik merupakan bagian dan kemasan penggunaan bahasa, bagaimana pola wacana berulang itu berada di belakang konvensi-konvensi gramatikal. Selanjutnya, mengingat bahwa kata ganti refleksif diprakarsai dengan proses pragmatik, kami perlu menentukan apakah kata ganti refleksif sekarang ini sudah sepenuhnya mengalami gramatisisasi. Apa yang dimaksud dengan pembagian grammar/pragmatik terkait dengan penggunaan dan interpretasi terhadap kata ganti refleksif jika gramar dan pragmatik terus-menerus mengalami evolusi? Kesimpulan yang akan kami capai adalah bahwa bukan hanya grammar, namun juga pragmatik, yang mengatur distribusi kata ganti refleksif yang ada sekarang ini . Salah satu saja tidaklah cukup. Dengan kata lain, terlepas dari adanya proses gramatisisasi, pragmatik masih memainkan peranan mengenai cara kita dalam menggunakan kata ganti refleksif.
Perhatikan bahwa pendekatan yang diadopsi di sini adalah pendekatan analisis wacana, bukan linguistik kesejarahan saja. Maksud kami adalah bahwa dengan menyelidiki percakapan Bahasa Inggris Modern kita bisa melihat bagaimana pola wacana yang menonjol mungkin telah menjadi jalan kemungkinan gramatisisasi di masa yang lalu. Bahasa Inggris Modern bisa digunakan untuk menjelaskan proses gramatisisasi yang dialami oleh bahasa Inggris di abad kelima belas, karena pola wacana yang mendorong lahirnya
[1] Saya berterima kasih kepada Tanya Reinhart, Makoto Shimizu, Tal Siloni, dan Sandra A. Thompson atas komentar mereka pada bab 6.
grammar saat itu masih bersama kita sekarang ini.[1] Di sini paksaan pragmatik yang relevan adalah inferensi bahwa entitas-entitas yang cenderung kita sebut saling terlibat satu sama lain dalam suatu peristiwa tertentu yang di-enkodekan dalam klausa linguistik itu cenderung berbeda. Interpretasi ini harus berupa inferensi pragmatik yang berulang-ulang di masa lalu, persis seperti yang terjadi di masa sekarang. Jika memang demikian, penutur terdorong untuk menunjukkan kasus-kasus tidak sesuainya inferensi ini. Indikasi inilah yang memprakarsai gramatisisasi yang sekarang dikenal sebagai kata ganti refleksif.
Levinson (1991, 2000b) menyatakan bahwa pola gramatikal bahasa Inggris anafora yang bertanggungjawab atas distribusi kata ganti diri dan kata ganti refleksif, sebagaimana kita ketahui sekarang, sebenarnya merupakan pembekuan (yang sedikit tidak sempurna) dari kecenderungan-kecenderungan pragmatik semacam ini.[2] Kata ganti refleksif telah berkembang (berevolusi) dalam upaya untuk menunjukkan hubungan acuan pendamping (coreference) yang aneh dengan anteseden sentral dalam klausa. Analisis yang disajikan di bawah ini didasarkan pada Levinson (1991, 2000b), Comrie (1998), König & Siemund (2000), Haspelmath (2004c) dan lain-lain.[3] Perhatikan bahwa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Levinson dengan tepat, fakta pertama yang sangat menarik mengenai kata ganti refleksif adalah bahwa distribusinya, yang dianggap sebagai bagian inti dari grammar universal (mungkin bawaan), merupakan produk kesejarahan, produk yang sebenarnya tidak sama-sama dimiliki oleh semua bahasa, dan tentu tidak pada tingkat yang sama.
Terutama kami akan menelaah kasus bahasa Inggris, karena dala bahasa inilah kata ganti refleksif telah mencapai fase yang agak gramatikal. Namun demikian, yang kami maksudkan adalah bahasa Inggris yang ada sekarang ini mencerminkan sisa-sisa tahap-tahap pragmatik yang awal, yang menetapkan seluruh proses gerakan, dan langkah-langkah awal menuju fungsi-fungsi yang lebih baru. Kami mengakhiri pembahasan bab ini dengan menunjukkan kemungkinan hilangnya fungsi keanehan (markedness) kata ganti refleksif yang asli, dan dengan hilangnya fungsi tersebut kami menunjukkan konvensi-konvensi gramatikal yang berkaitan dengan kata ganti refleksif. Inilah yang oleh Hopper (1991) diistilahkan dengan layering (pelapisan). Gagasannya adalah bahwa gramatisisasi yang lebih awal tidak menghalangi gramatisisasi yang lebih baru, dan gramatisisasi yang lebih baru tidak selalu membatalkan gramatisisasi-gramatisisasi yang lama. Bahkan, bahasa secara simultan [1] Di seluruh bab ini, statistik sinkronik yang secara statistik tidak benar disajikan, agar bisa menggerakkan bukan hanya gramatisisasi yang potensial di masa yang akan datang, tetapi juga gramatisisasi yang telah lama selesai. Ini sejalan dengan asumsi keseragaman Lass (1997: 26), yang menurut asumsi itu “distribusi kemungkinan secara umum dalam bidang tertentu selalu sama di masa lalu sebagaimana di masa sekarang ini.”
[2] Simak juga Ariel (1985: 115, 1987, 1990: bab 5).
[3] Sesungguhnya, Haspelmath (2004c) dan bab ini ditulis kurang lebih pada saat yang sama tanpa saling kenal satu sama lain.
memperlihatkan berbagai macam lapisan gramatisisasi yang ada bersama-sama satu sama lain, bahkan meski kemungkinan gramatisasi tersebut saling bertentangan (simak juga Romaine, 1999).[1]
Kita akan melihat pola-pola yang lebih lama di samping pola-pola yang lebih baru (misalnya, kata ganti refleksif sebagai kata keterangan penekanan, sebagai NP yang mengandung acuan pendamping yang aneh). Setiap fase gramatisisasi sekaligus juga merupakan produk akhir dari gramatisisasi, sekaligus sebagai kemunginan titik awal dalam tahap selanjutnya pada jalur gramatisisasi. Bahkan, meskipun kata ganti refleksif bahasa Inggris itu dalam derajad tertentu merupakan anafora-anafora yang mematuhi Binding Conditions (Syarat Pengikat) yang ada sekarang ini, secara bertahap kata ganti tersebut memerankan fungsi gramatikal yang baru, yakni fungsi detransitivizing (detransitivisasi) (simak Ariel, 2006a). Sekali lagi hal ini tidak terlalu berbeda dengan kasus Menara Eifel, yang sekarang memiliki fungsi tambahan baru, yang sekali lagi benar-benar tidak berkaitan dengan fungsinya dalam penyiaran radio: menara itu sekarang menjadi lambang negara Perancis, dan mampu menarik banyak sekali wisatawan untuk berkunjung ke Paris setiap tahunnya.
Kami memulai pembahasan bab ini dengan memperkenalkan penjelasan sinkronis struktural kata refleksif dalam pokok bahasan 6.1, yang kami uraikan secara pragmatik dalam pokok bahasan 6.2. Pokok bahasan 6.3 diperuntukkan untuk menjawab pertanyaan apakah kita memerlukan penjelasan struktural dan pragmatik mengenai kata ganti refleksif ini. Kami akhiri pembahasan bab ini dengan kemungkinan bahwa kata ganti refleksif bisa kehilangan fungsi pragmatiknya (markedness) yang telah berkembang (pokok bahasan 6.4).
6.1 Penjelasan struktural kata ganti refleksif
Mari kita mulai pembahasan di sini dengan mengetengahkan kata ganti refleksif bahasa Inggris yang dianalisis menggunakan hubungan struktural. Reinhart dan Reuland (1993) menawarkan perumusan kembali terhadap Binding Conditions A dan B asli yang sangat hirarkis itu Ke dua . Kedua syarat ini sekarang berkaitan dengan dengan refleksifitas, dan bidang yang penting untuk refleksifitas adalah predikat dan berbagai argumennya, bukan bidang sintaksis minimal (NP atau S): argumen pendamping yang sifatnya acuan pendamping tentu merupakan suatu refleksif.[2] Di sini kami akan menyederhanakan pendapat Reinhart dan Reuland sebagai berikut:
[1] Hopper membahas berbagai macam bentuk yang muncul dalam fase-fase bahasa yang berbeda-beda, yang secara serentak memerankan satu fungsi gramatikal yang sama (misalnya, bentuk past tense dalam bahasa Inggris). Di sini kami terfokus pada fenomena yang sejajar, dimana satu bentuk (refleksif) sekarang menandai berbagai macam fungsi, yang berkembang pada masa-masa yang berbeda.
[2] Kenyataan bahwa Binding Conditions sekarang dibatasi pada refleksifitas adalah sesuai dengan pandangan bahwa perkembangan dan gramatisisasi kata ganti refleksif itulah yang menciptakan gramatisisasi kata ganti yang terpisah dari pasangan klausanya NP, sebenarnya sebagai produk samping (simak Levinson, 2000b).
Langganan:
Postingan (Atom)